tentang #freeprita


“Kumpulkan koin busuk kalian sebanyak-banyak untuk pembayaran denda Ibu Prita Mulyasari kepada RS. OMNI INT’L sebesar 204juta.. tempat pengumpulan koin: WETIGA Jl. Langsat I/3A dan Markas Sehat, Jl Taman Margasatwa no. 60 Jatipadang …mari bersatu untuk kebebasan Ibu Prita… #FREEPRITA”

Begitu isi status beberapa orang teman yang aktif di jejaring sosial: facebook dan twitter. Saya percaya dengan kekuatan jejaring sosial untuk menyebarkan kabar ini seluas-luasnya, paling tidak se-massive gerakan facebookers untuk gerakan “cicak vs buaya”. Tapi, saya tidak tahu apakah uang sejumlah itu dalam bentuk koin busuk pula akan terkumpul dalam waktu cepat.

Bukan saya mau meremehkan gerakan ini, tapi tahu sama tahu, biasanya yang seperti ini hangat-hangat di awal saja. Mudah-mudahan tidak ya!

Saya pribadi berharap koin-koin itu bisa terkumpul dan bisa digunakan untuk membayar denda yang dituntutkan ke Prita Mulyasari.

Mengenai apa yang dialami Prita Mulyasari, dibawah ini saya coba kutipkan sebuah tulisan yang ditulis oleh Bang Aip yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan bagi Anda untuk ikut serta menyumbang koin busuk.

Bayangkan… Tahun 2007? Masih saja ada yang di penjara karena menulis “Kamu dungu!”

Dua tahun kemudian, 2009, Prita Mulyasari kembali dikriminalisasi karena menulis di milis (mailing list) mengenai keluhannya pada Rumah Sakit Omni yang menurut Bu Prita, ‘Mereka membuat tangan saya bengkak’

Sebagaimana Bersihar, Prita pun akhirnya sempat mencium aroma kamar sel penjara. Bayangkan… Tahun 2009? Masih saja ada yang di penjara karena menulis “Mereka membuat tangan saya bengkak!”

Kita semua terkejut, marah, sekaligus takut. Kombinasi itu membawa kita menulis ungkapan hati melalui media massa yang menyediakan kolom komentar, melalui blog, melalui dukungan facebook, hingga demonstrasi di jalan.

Apa yang terjadi pada Prita maupun Bersihar punya persamaan; Dua-duanya dikriminalisasi karena menulis.

Kriminalisasi yang jelas membuat takut banyak orang (yang menulis).

Mengapa?

1. Biasanya kalimat ‘kriminalisasi’ amat lekat dengan kalimat ‘penjara’. Kalimat ‘penjara’ itu di Indonesia (dan sebagian besar negara di dunia ini) bukanlah kalimat yang baik. Orang yang sudah pernah di penjara, susah dapat SKKB (Surat Keterangan Kelakuan Baik) dari kepolisian kalau ingin mencari kerja. Selain itu, penjara Indonesia bukanlah sesuatu yang nyaman bahkan hingga di imajinasi anda sekalipun.

2. Kriminalisasi juga lekat dengan kalimat ‘melawan hukum’. Di negara yang (katanya) berdiri atas nama hukum, Republik Indonesia. Kegiatan melawan hukum sama saja dengan kegiatan melawan negara. Tindakan represi negara terhadap rakyat atas nama hukum yang mengakibatkan banyak warga Indonesia meninggal dan terluka, meninggalkan rasa traumatis yang amat tinggi di jiwa warga Indonesia. Contohnya; hingga kini masih banyak orang yang takut dengan aparat penegak hukum. Sebab bagi mereka, penjahat paling sadis, yaa justru datang dari aparat tersebut.

3. Jika anda melihat bahwa ‘pena atau belati sama sekali tidak setajam tuntutan hukum’, maka secara otomatis otak anda akan belajar untuk “Ahh takut nih nulis! Gimana nanti kalo gua dituntut? Nanti gua bisa dipenjara! Nanti makan apa gua dipenjara?”

4. Kita tidak sedang ada di Amerika Serikat, di mana para narablog US punya bantuan hukum sendiri dalam menghadapi kasus kriminalisasi yang menimpa mereka. Ini Indonesia, Bung. Dimana bukan hanya mulutmu harimaumu. Sebab disini bahkan nama orang kaya, korporasi cere hingga penguasa lokal tingkat kelurahan pun ikut-ikutan jadi harimaumu.

Dan sebagainya… Dan sebagainya… Di atas hanya beberapa contoh umum yang anda dapat lihat di kolom-kolom komentar warga pada kasus kriminalisasi penulis.

Alasan-alasan di atas adalah basis dasar Pak Wicaksono (*sumpah, nama penulisnya memang begitu adanya. Bukan Ndoro*) menulis bahwa posisi narablog (atau dikenal juga sebagai blogger) memang sungguh lemah adanya di mata hukum.

Begini kutipan tulisan Bapak Wicaksono:

Nasib narablog pun belum sebaik jurnalis. Para jurnalis memiliki semacam pelindung yang kuat dalam bentuk Undang-Undang Pers dan kode etik jurnalistik. Undang-undang, selain memberi perlindungan, menyediakan privilese kepada wartawan berupa hak tolak. Narablog justru belum memiliki pegangan khusus apa pun.

Seandainya seorang wartawan mendapatkan masalah hukum, ada asosiasi, seperti Aliansi Jurnalis Independen dan LBH Pers, yang siap membela. Tapi, bila ada narablog yang digugat, dia pasti kebingungan akan meminta pertolongan kepada siapa. Kalau narablog yang terjerat kasus itu kaya sih, dia bisa menyewa pengacara. Tapi bila narablog itu koceknya tipis, siapa yang akan membantu?

Analisa yang menarik (buat saya pribadi). Kalau mau blak-blakan terbuka, ini adalah issue yang memang sedang hangat-hangatnya. Jurnalis, menulis karena profesi. Mendapat bayaran untuk bertahan hidup karena bekerja secara profesional.  Dihantam undang-undang apapun, ada pemimpin redaksi hingga editor (kalau berani) yang sedia pasang badan melindungi.

Sedangkan orang yang menulis blog / facebook / plurk / tweet / kronologger atau apalah namanya, mulai dari undang-undang kelas kacang hingga undang-undang lentur dahsyat model UU ITE, memang rentan kena hantam.

Siapa pula yang bayar orang-orang itu menulis, berbagi ilmu, kebijaksanaanya (dan kadang makiannya) pada publik? Jawabnya: Nggak ada euy! Siapa yang berani membantu para manusia-manusia itu kalau dirundung masalah. Jawabnya sekali lagi: Nggak ada euy!

Mereka sendirian menghadapi semua terpaan. Ada badai, air pasang, geledek… yaa semua ditelan sendiri.

Dulu ada ide dari seorang pejabat tinggi. Idenya mulia, ‘Sejuta blogger’.

Lah kalau sudah sejuta mau apa?

Percuma ada sejuta kalau tidak punya kekuatan apa-apa. Kata para dai radio, itu lah manusia yang seperti buih di lautan. Banyak tapi terpecah-pecah. Ada, terlihat, tapi tidak sanggup berbuat apa-apa.

Percuma punya lebih dari sejuta otak dan mulut tapi tidak sanggup mengguncang Senayan untuk menyuarakan aspirasinya.

Jika tidak ada yang mendengar. Jika tidak ada yang beraksi. Sejuta pendapat ujung-ujungnya hanya jadi sejuta omong kosong. Sebab apapun yang keluar melalui tulisan tersebut, hanya jadi bumerang bagi aktifis-aktifis yang menyuarakan pendapatnya di ranah maya.

Siapa pula yang mau bersuara kalau mulutnya diancam penjara?

Saya harap yang saya kutip di atas sudah cukup untuk membuat Anda tergerak. Kawan, jika dan hanya jika, Anda peduli dengan persoalan kebebasan berpendapat dan perlindungan atas hak-hak konsumen, bergeraklah. Ajak kawan-kawan Anda untuk mengumpulkan koin, adopsi cara yang dipakai oleh gerakan CoinAChance.

Ingat, tempat mengumpulkan koinnya di: WETIGA Jl. Langsat I/3A dan Markas Sehat, Jl Taman Margasatwa no. 60 Jatipadang.

***

notes: status dirangkum dari kumpulan status teman-teman di fb dan twitter, gambar diambil dari flickrnya enda nasution.

____

UPDATES:

Teman2 dari Langsat membuat sebuah Blog untuk memantau perkembangan pengumpulan koin untuk gerakan #freePrita. Blog tersebut diberi nama Koin Keadilan dengan tagline “ketika keadilan direcehkan, kita pun mengumpulkan receh“. Dan ini penjelasan tentang Blog tersebut:

“Blog ini adalah salah satu simpul informasi dukungan terhadap Prita Mulyasari, yang oleh Pengadilan Tinggi Banten diputuskan bersalah dan harus membayar denda Rp 204 juta kepada RS Omni Internasional Alam Sutera yang menggugatnya secara perdata. Prita juga masih terbelit kasus pidana  dengan dakwaan pencemaran nama baik dokter RS Omni Internasional. Semuanya berawal dari e-mail Prita kepada kawan-kawannya yang berisi keluhan terhadap pelayanan RS Omni Internasional.”

19 thoughts on “tentang #freeprita”

  1. jangan khawatir uang sudah banyak terkumpul, dari yg koin sudah terkumpul 53 juta (baca di twitter) sementara tadi di tv saya lihat pak Fahmi Idris bersedia menyumbang 102 juta (separo denda) dan akan menggalang dukungan dana dari teman temannya penggemar motor gede

  2. Jauh mata memandang tentang perlindungan Hukum bagi kasus Prita yang sebenarnya tidak layak di jadikan konsumsi Hukum Indonesia yang belom bisa menjelajahi area tersebut. Tulisan Prita tak lebih dari sekedar Suara Pembaca di Kompas bukan? yang mengajukan sebuah ketidak puasan terhadap sebuah pelayanan publik yang di lakukan sebuah rumah sakit. Di tambah dengan saksi ahli sewaktu persidangan bukan saksi ahli yang layak untuk di jadikan ahli.. seharusnya kasus mbak Prita ini tidak perlu ada… sama sekali. Karena sebenarnya jika ini di bawa ke dalam persepsi publik bukannya merugikan rumah sakit OMNI yang di anggap tidak bisa menyelesaikan kasus ini secara bijaksana dan terburu-buru membawanya ke meja Hijau.. gak guna punya PR deh

  3. Barusan di Suara Anda Metro TV, pengacara Bu Prita berencana mengajukan kasasi ke MA. Semoga saja keputusannya menjadi bebas murni. Tetapi dukungan koin ini tetap perlu dijalankan

  4. kayanya buat ngelunasin denda yg 202 jt dah cukup deh. kayanya mbak Prita harus ngumpul2 uang lagi buat bayar pengacara untuk proses hukum selanjutnya. gimana klo mbak Prita nulis buku pengalaman selama pertama masuk Omni, di tahan, trus sampai sekarang… pasti laku keras. banyak celah untuk kita kalo mau bantu orang yg tertindas…

  5. Disaat semua produk berusaha menanamkan citra positif di mata anak anak kecil (yg notabene nantinya jadi pemimpin bangsa), disaat produk2 seperti Air Asia, dan lain lain berlomba lomba menanamkan namanya di benak anak anak lewat Kidzania atau tempat bermain lainnya, RS OMNI malah berbuat sebaliknya.

    Anak anak kecil malah dikenalkan arti negatif RS OMNI, semua berita koin keadilan ada dimana mana, bahkan mereka ikut menyumbang..Ga terbayang beratnya tugas marketing RS ini dimasa anak anak ini menjadi pemimpin atau pekerja yg pengambil keputusan.

    daaaaaannnn, PR nya tidak berbuat apa apa sepertinya?? CMIIW.

  6. untuk kasus Munir saja lagi gak terselesaikan.. malahan juga ada kasus pilot yang dipenjara gara kemudiin pesawat ga becus padahal bukan salah dia, salah human error.

  7. saya rasa kita tidak harus membuat UU tentang hak menulis. karena kita sudah demokrasi. akan tetapi pemerintah kita yang tidak mau mengubah cara pikir pemimpin kita. jadi, saya rasa sudah cukup UU yang ada. supaya uu itu ada manfaatnya tidak hanya sekedar membuat saja…

Leave a comment