Tips Sukses di Tempat Magang

Internship atau magang merupakan sebuah kesempatan untuk mahasiswa/i mendapatkan keahlian, jaringan pertemanan dan pengalaman kerja di dunia kerja yang dinamis dan penuh dengan tantangan. Beberapa perusahaan membuka lowongan internship dengan gaji, beberapa lainnya tanpa gaji. Beberapa perusahaan membiarkan pekerja magang duduk-duduk di kursi yang tersisa, tanpa tugas yang jelas.

Sayangnya, tidak semua mahasiswa/i sadar betapa pentingnya internship untuk membuka mata mereka tentang dunia kerja yang sesungguhnya. Dunia kerja yang (sayangnya) tidak berhubungan dengan tugas essai dan tugas paper. Dunia kerja yang (sayangnya) tidak dibatasi oleh jumlah halaman, jenis huruf, dan ukuran huruf atas tulisan yang dibuat.

Beberapa hari yang lalu, salah satu pekerja magang di kantor saya menghubungi saya dan meminta diberi tugas untuk diselesaikan. Lalu saya berikan sebuah tugas untuk mencari tahu informasi yang penting tentang sebuah startup teknologi keuangan di bidang pembiayaan konsumen. Yang menarik adalah dia bertanya berapa jumlah halaman yang perlu dibuat. Saya jawab bahwa 5 halaman saja cukup, selama informasi yang dicari sudah dapat dipaparkan dengan jelas.

Keesokan harinya, sebuah email masuk ke inbox saya. Tugas yang saya minta diselesaikan dalam waktu kurang dari 24 jam. Apa yang terjadi kemudian?

Saya mendapatkan sebuah dokumen presentasi powerpoint mengenai startup teknologi keuangan yang saya minta. Sayangnya, informasi yang disampaikan dalam dokumen tersebut bisa saya baca di website startup teknologi keuangan tersebut. Artinya tidak ada informasi yang penting yang disampaikan di dalam dokumen tersebut.

Lalu, saya hubungi pekerja magang tersebut dan ternyata dia mendapatkan informasi yang dipaparkan dalam dokumen powerpoint dengan merangkum video dari youtube tentang startup teknologi keuangan. Sejujurnya, saya terkejut. Mengapa seseorang mencari informasi yang penting dari youtube. Apakah karena pekerja magang di kantor saya ini termasuk generasi Z? 

Setelah itu bertanya, saya sampaikan beberapa hal kepada pekerja magang tersebut bahwa:

Berlatih mencari dan menggali insight. Mahasiswa dan mahasiswi perlu lebih banyak belajar untuk mencari dan menggali insight. Perlu diingat bahwa hal-hal yang penting dan berisi insight tidak akan didapat dari halaman pertama hasil googling. Insight akan didapat dari halaman-halaman berikutnya, atau bahkan mungkin dari hasil obrolan yang mendalam dengan siapapun. Insight yang paling sederhana adalah mengenai who’s who, competitions, money spent, where the money from, and all the other details.

Google-it before you ask. Mahasiswa dan mahasiswi perlu lebih banyak bertanya. Selain perlu lebih banyak membaca panjang. Sayangnya dunia yang semakin modern ini membawa kita ke ranah audio visual yang semakin mengganggu dan membuat kemampuan membaca panjang semakin langka. Di saat yang sama social media membuat kita lebih sering bertanya tentang hal-hal (yang bisa dicari lewat Google) kepada peer group, followers dan fans di social media.

Talenta yang resourcefulSaat ini, kita sudah sama-sama mulai merasakan bagaimana sulitnya mencari pekerjaan yang bagus. Di sisi lain, perusahaan pun semakin kesulitan untuk mencari talenta yang tepat. Kalau kita mau menjadi talenta yang dicari oleh perusahaan-perusahaan yang bagus, kita tidak boleh menjadi mediocre.

Quality over quantities. Ini hal yang sangat penting dan (sayangnya) di bangku kuliah kita diajarkan untuk mengerjakan yang sebaliknya. Dosen lebih sering meminta anak didiknya untuk mengerjakan essai dan paper dengan jumlah minimal x halaman, jenis huruf x, ukuran huruf x, dan syarat lainnya yang tidak relevan dengan mata kuliah. Dosen jarang sekali memaksa bahwa substansi dari sebuah paper adalah hal yang lebih penting dari pada jumlah halaman. Tuhan, jumlah halaman. Akibatnya mahasiswa dan mahasiswi jadi terbiasa mengejar jumlah halaman, kadang dengan mengarang bebas dalam banyak paragraf tambahan agar kuota halaman mencukupi. Saya pun dulu seperti itu.

Take the extra miles, impress your audience & screw deadlines. Apapun pekerjaan yang dilakukan, seorang pekerja harus selalu memiliki attitude untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas. Bayangkan pekerjaan yang sedang dilakukan itu akan dilaporkan kepada diri kita sendiri. Periksa kembali pekerjaan tersebut, lalu tanyakan kepada diri sendiri apakah sudah puas dengan apa yang hasil kerja tersebut? Kalau belum puas, ulangi pekerjaan tersebut hingga bisa memuaskan (minimal) diri kita sendiri. Deadlines adalah keniscayaan. Selama pekerjaan tersebut tidak ditunda-tunda, sudah barang pasti pekerjaan selesai tepat waktu.

Mudah-mudahan tulisan ini mencerahkan. Btw, kebetulan kantor saya sedang membuka lowongan magang. Silakan kirimkan cover letter dan curriculum vitae ke sani@igico.id. Hehahehahe.. Dont waste your time, Bruh. Clocks ticking..

Kekuatan Politik itu Hasil Bekerja

Menyenangkan Publik

Salah satu keuntungan dari petahana yang baik adalah hasil kerja politik yang bisa dirasakan banyak pihak — utamanya konstituen di daerah pemilihan. Bentuk kerja politik seperti apa yang dimaksud? Kerja politik anggaran (misalnya: bagaimana pemanfaatan anggaran dapat seminimal mungkin untuk manfaat publik yang seluas-luasnya atau bagaimana pemanfaatan anggaran untuk hal-hal yang tidak perlu dapat dialokasikan untuk manfaat publik lain yang seluas-luasnya). Jadi, fokus berpolitik adalah konstituen di daerah pemilihan. Misalnya A menjabat sebagai kepala daerah di wilayah Pabaliut, maka tugas A adalah memimpin dan sekaligus berpolitik dengan counterpart-nya di DPRD kota Pabaliut agar anggaran Pemerintah Kota Pabaliut dapat bermanfaat seluas-luasnya bagi publiknya.

Ketika seorang terpilih menjadi kepala daerah, maka seluruh penduduk di daerah tersebut adalah konstituen sekaligus publiknya, baik individu, institusi maupun korporasi. Artinya, kepala daerah harus berfikir bagaimana caranya agar seluruh publiknya itu dapat menjadi warga yang produktif yang memahami hak dan kewajibannya sebagai warga yang bernaung dalam sebuah daerah. Artinya, ketika membuat sebuah keputusan atau kebijakan, seorang kepala daerah harus berfikir keras bagaimana ‘menyenangkan’ semua pihak dan bagaimana keputusan yang diambil itu tidak merugikan salah satu pihak dalam ‘publik’. Itu sebuah pekerjaan yang berat, tidak semudah berjanji ketika masa kampanye — apalagi menulis artikel blog.

Implementasi Kebijakan

Kalau membuat sebuah keputusan atau kebijakan adalah proses yang panjang dan melelahkan, maka implementasi kebijakan adalah proses yang (kadang) menyakitkan. Kenapa begitu? Karena, implementasi dilakukan bukan langsung oleh kepala daerah, tetapi anak buahnya yang ada di jajaran pegawai negeri sipil yang terdiri dari lintas kedinasan yang individu-individunya memiliki banyak kepentingan.

Belum lagi soal celah-celah dalam kebijakan yang seringkali memungkinkan implementator ‘bermain’ dan kemudian mencari pungli dari publik di lapangan. Hal seperti ini begitu lazim di Indonesia yang multi-dimensional. Karenanya seorang kepala daerah di mana setiap pegawai negeri sipil itu bertanggung jawab wajib menjaga disiplin anak buahnya, termasuk memastikan anak buahnya sejahtera dan fokus menjalani tugas sebagai bagian dari pemerintah daerah sekaligus pelayan publik.

Ringannya Komentar 

Salah satu karya The Popoh, judulnya '1995'. © The Popoh.
Ilustrasi mural karya The Popoh, judulnya ‘1995’. © The Popoh.

Kalau kita membaca, mendengar dan menyaksikan media hari ini, kita banyak disuguhkan komentar-komentar para pakar yang seringkali ‘self-proclaimed’ di bidang tertentu. Belum cukup dengan komentar pakar, media juga menghadirkan komentar para politisi yang tentu saja berlawanan dan saling bertarung komentar. Kalau bahasa jurnalistik, yang lebih sering disajikan beberapa tahun belakangan ini adalah jurnalisme lisan atau ‘talking-journalism’. Menurut saya, ini jenis jurnalisme berfase cepat yang merugikan pembaca/pemirsa.

Mungkin ini adalah resep sederhana membangun isu agar membesar, walaupun isunya seringkali jauh dari genting dan penting. Mungkin juga ini resep sederhana untuk mendatangkan ‘traffic’ bagi media online. Tapi, apa yang pembaca dapat? Hampir nihil.

Tidak cukup dengan komentar para pakar dan politisi, penetrasi media sosial menciptakan banyak pakar yang keahliannya bergantung pada isu yang aktual dengan modal Googling. Begitu riuh ramai, para pakar seringkali saling menyerang satu sama lain. Twitwar. Sibuk dengan ego masing-masing. Belakangan begitu banyak social climber yang ingin mengesankan diri seolah seorang politisi yang ulung, padahal bisanya sekedar komentar tanpa substansi. Mereka lupa, seringkali objek yang dikomentari itu bahkan tidak ada dan tidak membaca media sosial.

Sementara itu, petahana bekerja keras menyusun kebijakan dan  mengawasi implementasinya di daerah Pabaliut. Dan para lawan politik sibuk mengeluarkan pernyataan atau usulan tentang daerah Pabalieut tanpa melakukan kajian yang mendalam.

Kalau kekuatan politik petahana yang baik adalah hasil kerja politik yang dirasakan publik, maka kekuatan lawan politik dari petahana adalah berkomentar. 

__________

Catatan:

  • ‘Pabaliut’ dalam bahasa sunda menurut Kamus Sunda-Indonesia yang disusun Budi Rahayu Tamsyah, dkk (Pusaka Setia: 1996) memiliki pengertian: kacau balau, simpang siur, semrawut.

Partisipasi dan Representasi

Sejak tahun 2009, kita memiliki 560 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, 132 Anggota Dewan Perwakilan Daerah dan ribuan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bertugas untuk mewakili 237,641,326 penduduk Indonesia. Setiap Anggota DPR mewakili 424,359 penduduk Indonesia, dan anggota DPD mewakili daerah masing-masing. Seharusnya setiap warga negara yang mengikuti Pemilihan Legislatif memiliki keterikatan kontrak sosial dan politik sebagai pemberi amanah, sebaliknya masing-masing anggota DPR dan DPD sebagai penerima amanah dari pemilih. Artinya, setiap ucapan, sikap, tindakan, dan kebijakan semua anggota DPR dan DPD merupakan representasi dari suara rakyat (konstituen) yang diwakili di masing-masing daerah pemilihan. Begitu yang seharusnya terjadi pada tatanan yang ideal.

Masalahnya, sebelum terpilih, masing-masing Anggota DPR dan DPD mendapatkan modal kampanye yang tidak sedikit dari “pihak yang berkepentingan” yang sebetulnya tidak memiliki hubungan dalam bentuk apapun dengan konstituen daerah pemilihan. Akibatnya, tatanan yang ideal seperti digambarkan pada paragraf pertama hampir mustahil untuk terjadi. Karenanya kemudian kerap terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR dan DPD, tanpa ada reaksi apapun dari publik, selain reaksi negatif terhadap DPR dan DPR secara kelembagaan. Dengan kata lain, bila ada satu anggota DPR/DPD melanggar hukum, maka efek negatif bukan ada pada individu tersebut, tetapi kepada lembaga secara umum.

Dengan kondisi yang demikian jauh dari ideal, DPR yang memiliki fungsi pengawasan pemerintahan dan perancangan UUD tidak memiliki “pengawas kinerja” karena tidak pernah ada kontrak sosial dan politik dengan konstituen, apalagi dengan yang berbeda partai dengan anggota tetapi berasal dari satu daerah pemilihan. Padahal sejatinya, setelah setiap Anggota DPR/DPD terpilih maka yang bersangkutan mewakili daerah pemilihan secara umum (tanpa melihat partainya).

Partisipasi aktif masyarakat atas pembuatan kebijakan begitu penting, karena merekalah pemangku kepentingan yang akan dikenai  imbas langsung atas sebuah kebijakan. Sementara, representasi Anggota DPR atas masyarakat juga begitu penting, karena persoalan mendasar mengenai apapun yang diatur dalam kebijakan sudah dan akan terjadi di masyarakat.

Pertanyaan yang berulang-ulang muncul di kepala saya ketika menulis adalah: apakah Fulan (sebagai anggota masyarakat) tahu siapa yang mewakilinya di DPR dan DPD? apakah Fulan tahu kebijakan-kebijakan apa saja yang diperjuangkan oleh wakilnya di DPR dan DPD? lalu, apakah betul Fulan bisa mengusulkan secara langsung apapun ide positif yang ada di kepalanya kepada wakilnya di DPR dan DPD? Kalau semua jawaban dari 3 pertanyaan itu “tidak”, mungkin ada yang salah dengan sistem representasi di negeri ini. 

Memang #Sekolah untuk apa?

Memang kalian sekolah untuk apa? Supaya bisa bekerja? Memang sekarang kalian bisa bekerja? Memang berhubungan itu pelajaran-pelajaran yang kalian pelajari di sekolah dengan pekerjaan yang ada? Memang kalian belajar soal cara menjual barang di sekolah tehnik? Atau kalian belajar tehnik dan programming di sekolah komunikasi dan bisnis? Memang masih relevan apa yang pernah kalian pelajari? Memang cukup sekolah saja untuk bisa bekerja? Memang kalian siapa kok merasa hebat sekali? Memang sudah merasa cukup dengan apa yang kalian punya?

Mungkin memang kalian sombong atas diri sendiri, sehingga malas belajar lebih banyak. Mungkin memang begitu. Coba dipikir lagi, memang kalian tau apa jawaban dari pertanyaan: Memang sekolah untuk apa? 

Sini saya kasih tahu, tujuan kita sekolah itu untuk menjadi robot, pelengkap-penderita industrialisasi.

Politik adalah Hasil

Dulu, politik menurut Aristoteles berarti usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Di kemudian hari di Indonesia, usaha yang disebut oleh Aristoteles diatas diterjemahkan dengan berkampanye sembari melempar janji-janji atau bakal capaian dengan akhiran berupa merchandise kampanye dan “uang transport”. Usaha yang sama dan berulang selama hampir 4 dekade ini kemudian merusak cara berfikir dominan masyarakat dalam memilih. Dus, kekuatan politik lebih sering didapat dengan cara yang instan dan berakibat pada instabilitas sistem. Padahal stabilitas politik berpengaruh begitu besar terhadap stabilitas sosial dan ekonomi.

Jika sekumpulan rakyat di sebuah wilayah dikuantifikasikan sebagai angka, maka mereka bisa menjadi ukuran dari sebuah kekuatan politik bila menggunakan hak pilihnya atas politisi tertentu. Tentu, angka tersebut kecil bila politisi yang bersangkutan tidak memberikan kontribusi/ hasil yang diharapkan oleh kumpulan rakyat. Dan tentu saja, angka tersebut besar bila politisi yang bersangkutan memberikan kontribusi/ hasil yang diharapkan oleh kumpulan rakyat.

Kalau kita lihat lagi di paragraf pertama dikatakan bahwa telah dilakukan usaha-usaha instan oleh politisi untuk mendapatkan kekuatan politik dalam sebuah pemilihan, dan berakibat butuk pada sistem, maka perlu dilakukan transformasi usaha. Ini kemudian harus dimulai dari mereka-mereka yang bekerja sebagai konsultan komunikasi politik. Kenapa? Karena mereka beserta para politisi lah yang bertanggung jawab atas kerusakan sistem.

Coba bayangkan bila seorang politisi mau berkampanye dengan melakukan tindakan yang riil di masyarakat dengan mempromosikan inisiatif, ide, dan aksi yang membawa perubahan bagi masyarakat. Bukan dalam jangka waktu 1-2 bulan sebelum pemilihan. Coba lakukan dalam jangka waktu 2-3 tahun sebelum pemilihan. Sulit? Memang begitu seharusnya. Bukankah seorang pemimpin itu ditempa oleh ujian-ujian yang sulit baru kemudian dipilih oleh masyarakat?!

Dari proses 2-3 tahun itu sudah barang tentu ada hasil yang muncul kemudian. Dari urusan harga cabai rawit, sampai urusan kedelai impor. Dari urusan bis kota sampai urusan pajak kendaraan mewah. Dari urusan cara masyarakat berpendapat sampai urusan ormas yang anarkis. Dari urusan A sampai urusan Z. Multidimensional? Kompleks? Jangan jadi politisi kalau kemudian menyerah dengan urusan-urusan itu. Lebih baik jadi badut berjas dan dasi saja sana.

Perkara hasil dari usaha 2-3 tahun memuaskan atau tidak, itu urusan lain. Yang jelas dan pasti, politisi tersebut kemudian akan dikenal sebagai seseorang yang memiliki integritas dan reputasi atas bidang yang diperjuangkannya. Kalau berhasil, maka ketika pemilihan politisi tersebut akan memiliki kekuatan tersendiri. Jika gagal, paling tidak politisi tersebut berusaha dengan cara yang pasti diamini oleh Aristoteles.

Benar kan, Politik adalah hasil.