Karakter

Manners maketh man’, ucap William of Wykeham, seorang uskup dari Winchester, Inggris. ‘Manners make us human’, mungkin itu yang dimaksud sang uskup. ‘Manners’, secara luas dapat dimaknai sebagai karakter, kepribadian, dan menjadi diri sendiri. Uskup William menggunakan kalimat ini sebagai motto yang dipegang teguh oleh Winchester dan New College nun di Oxford, Inggris sana. Beliau menginginkan para pemuda yang tengah dididik di kemudian hari dapat memiliki karakter, seperti apapun itu, yang utamanya bertata krama, dan menjadi diri sendiri.

Dari pengantar diatas kemudian kita mengenal sebuah lagu Sting yang mengamini ungkapan uskup William.

If, “Manners maketh man” as someone said/ Then he’s the hero of the day/ It takes a man to suffer ignorance and smile/ Be yourself no matter what they say … … Modesty, propriety can lead to notoriety/ You could end up as the only one/ Gentleness, sobriety are rare in this society/ At night a candle’s brighter than the sun/ Takes more than combat gear to make a man/ Takes more than a license for a gun/ Confront your enemies, avoid them when you can/ A gentleman will walk but never run …  (Sting, Englishman in New York)

Sejarah manusia telah mengajarkan kita banyak hal, begitu banyak manusia yang sejak muda sudah berani memiliki karakternya sendiri, dan berakhir dengan menjadi sesuatu. From nothing to something, a nobody to somebody. Arnold Toynbee menyebut mereka yang ‘membentuk’ sejarah ini sebagai, “Minoritas Kreatif”, kaum minoritas yang bergerak melawan zaman.

Mereka yang menjadi minoritas kreatif seperti disebut Toynbee tidak pernah menunggu, mereka pemain dan selalu bergerak bersama mimpi. Hidupnya penuh gairah dan gelora. Optimisme sudah terpatri didalam pikirannya. Merekalah yang berdiri ditengah keberagaman. Sorot matanya tajam, menunjukkan dedikasi yang tinggi bahkan pada hal-hal yang kecil mendetil. Tangannya selalu diatas dan penuh kelembutan, walaupun terbiasa menghantam batuan zaman yang keras. Kakinya selalu memijak bumi, seolah dunia hanya sementara, sedang tujuan akhir adalah beribadah kepada Tuhannya.

Bukan tugas ringan menjadi manusia semacam itu, tetapi keIndonesiaan belum final. Proses itu masih terus berjalan. Terus dan terus hingga akhir zaman. YB Mangunwijaya berucap mengutip ungkapan yang menjadi semboyan Raja-raja Ligne, “Quo res cumque cadant, stat semper linea recta!” Biarpun semua roboh, tetaplah di garis lurus!

sumber : Kompas, 28 Oktober 2008
gambar : Youth of the nation, Lazulyte, 2007

Jong Indonesia

Kata ‘Jong adalah aksara belanda yang sepadan dengan kata ‘young‘, mungkin bila diterjemahkan menjadi ‘anak muda’. Istilah ‘jong’ di Indonesia sudah lama tidak kita dengar. Yang lebih sering kita dengar mungkin istilah ‘kawula muda’ (prambors fm), ‘anak nongkrong’ (mtv), ‘boys and girls‘ (mustang fm), dan sebutan lainnya yang biasa digunakan oleh penyiar di radio-radio bergenre anak muda. Kaum muda memiliki peranan tersendiri yang tentu saja penting untuk menggerakkan sebuah bangsa, terutama ketika generasi yang memimpin sudah terlalu larut dalam  jebakan kekuasaan.

Penggunaan bahasa secara seragam merupakan elemen penting dalam penyatuan sebuah bangsa. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, kita pernah mengalami masa dimana kaum intelektual Indonesia yang kebanyakan didikan negeri belanda menggunakan bahasa penjajah karena terlanjur terbiasa. Bisa dibayangkan bagaimana kaum intelektual tersebut bisa kembali mengabdi pada ibu pertiwi, bila bahasa berkelas intelektual dipadankan dengan bahasa yang bukan mother-tongue orang Indonesia. Tentu saja kemudian ada ketimpangan yang terjadi, terutama dalam ketersampaian pesan kepada masyarakat awam yang jauh dari pendidikan.

Kaum intelektual didikan Belanda yang menggagas kebangsaan Indonesia memulai penyatuan dengan bahasa melayu awalnya. Para jong ini sempat kesulitan menggunakan bahasa melayu, karena mereka tidak terbiasa, dan bahasa asing yang mungkin terlanjur melekat. Atas desakan dari Muhammad Yamin, Kongres Pemuda Indonesia yang diadakan para Jong se-Hindia Belanda kala itu menggunakan bahasa melayu. Walaupun sebagian besar peserta yang datang masih dalam tahap kembali belajar bahasa Ibu pertiwi.

Ada kejadian lucu, seperti dikutip oleh majalah tempo edisi khusus 80 tahun Sumpah Pemuda. Kala itu Amir Sjarifuddin (ketua sidang), bertanya pada para peserta tentang kesiapan mereka menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar selama kongres berlangsung. Para peserta kongres pemuda yang memang masih dalam tahap belajar bahasa pun menjawab secara serentak dan lantang, “Siiikaaaap!”.

Dulu dan kini, waktu merentang diri dari 1928 sampai 2008, 80 tahun sudah Sumpah Pemuda dilewati bangsa ini. Perkembangan bahasa dan kaum muda Indonesia telah melintasi berbagai masa dan memiliki ciri khas masing-masing. Ciri khas tersebut pun bergantung pada latar belakang tertentu, tergantung pada lingkungan (komunitas) apa mereka berkembang. Seperti dalam dunia penyiaran misalnya, ada pakem tertentu yang digunakan oleh radio siaran tertentu. Begitu pun dengan komunitas berbasis budaya, agama, bahkan sekedar kesamaan ide tau hobby.

Masing-masing komunitas berkembang dan terkadang menciptakan benteng atau gap yang sangat mungkin menciptakan kesalahpahaman bila dipandang dengan sempit. Namun sebaliknya, hal ini justru sebenarnya bisa memperkaya budaya Indonesia, karena proses perkembangan sebuah bangsa tidak akan pernah berhenti. Dan tentu saja, tak bisa dipungkiri perubahan akan hal-hal tertentu terjadi.

Seorang kolumnis, Rikard Bagun, menulis dalam Harian Kompas hari ini bahwa dibutuhkan banyak sumpah pemuda untuk bisa membangkitkan bangsa ini kembali. Rikard juga menekankan bahwa sebuah bangsa tidak boleh kehilangan nilai-nilai dasar kebangsaannya. Permasalahannya kemudian adalah apa kontribusi para Jong baru Indonesia ini sekarang? Apakah mereka sudah tenggelam dalam arus? Dan sedang mengalami kesulitan menantang arus besar konsumsi dan hedonisme yang riuh ramai? Yang perlu diingat saat ini sistem ditentukan dengan model survival of the fastest, bukan lagi survival of the fittest.

Islam saja bisa terpecah-pecah, bagaimana dengan Indonesia? Bung Karno pernah menulis saat pengasingan di Ende, Flores, 18 Agustus 1936 ketika mengomentari persoalan ummat yang memandang sempit keberagaman. Dalam suratnya kepada Ustad A. Hassan (pemimpin Persatuan Islam di Bandung), Ia berkata,

“…Tetapi apa jang kita ‘tjutat’ dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinja, bukan njalanja, bukan flamenja, tetapi abunja, debunja, asbesnja. Abunja jang berupa tjelak mata dan sorban, abunja yang yang mentjintai kemenjan dan tunggangan onta, abunja jang bersifat Islam mulut dan Islam-ibadat — zonder taqwa, abunja jang cuma tahu batja Fatihah dan tahlil sahaja — tetapi bukan apinja jang menjala-njala dari udjung zaman jang satu ke udjung zaman jang lain …”.

Indonesia, dan para ‘Jong-baru’nya dari berbagai kalangan, entah komunitas, agama, budaya, sosial dan politik, perlu mengingat satu hal bahwa perjalanan dan perkembangan sebuah bangsa adalah sesuatu yang pasti. Persoalan keberagaman sudah seharusnya dipandang sebagai kekayaan bangsa ini, yang perlu dilakukan adalah menelaah ke belakang dan berkaca pada sejarah Sumpah Pemuda sebagai awal kelahiran Indonesia. Dan ingat kata Bung Karno, ambil api(jiwa/semangat)nya(persatuan dalam sumpah pemuda) yang menyala-nyala dari ujung zaman(awal lahirnya sebuah bangsa) yang satu ke ujung zaman yang lain(hingga kematangan bangsa tersebut dalam melewati masa).

Bagaimana kawula muda, anak nongkrong, boys and girls, siap bersumpah untuk mengabdi pada bangsa dan negara ini? Bangsa ini perlu darah segar untuk bangkit.

sumber : Kompas 27 Oktober 2008, dan Tempo Edisi 80 Tahun Sumpah Pemuda
gambar : Kompas, 27 Oktober (Arsip Museum Sumpah Pemuda, Jakarta)

ingatan seorang petani

Adalah Petani yang membangun Indonesia sedemikian rupa, karena produktivitas merekalah segala macam makanan bisa terus terhidang. Yang mereka lakukan tidak ringan, sama sekali tidak. Tapi yang mereka dapat dengan beban seberat itu, sangat kecil. Jauh dari cukup. Pernah membayangkan bila kita berprofesi jadi petani di masa pasca reformasi?

Tidak, saya tidak sedang membela mantan Presiden Soeharto. Tapi apa yang beliau pernah lakukan setidaknya sedikit banyak meringankan beban para petani. Pada masanya (terutama sebelum 1984-red.), petani disubsidi sedemikian rupa, dengan dana kredit, pupuk yang bersubsidi, pengairan, pembangunan infrastruktur yang cukup, koperasi penjualan, dan lain-lain. Setidaknya kita bisa menyebut beberapa hal tersebut bila mencoba mengingat kembali masa-masa itu.

Sadarkah kita bahwa pembangunan sebuah Negara, terlebih perekonomiannya harus dimulai dari pertanian? Sadarkah anda yang tinggal di Jawa bahwa pulau ini dikenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi karena kesuburan tanahnya dan melimpahnya hasil pertanian? Coba kita tengok Negara kecil seperti Taiwan, dan atau Jepang yang pertaniannya bisa maju sedemikian rupa. Mereka tidak pernah lagi perlu khawatir akan keadaan perut mereka. Karena petani sejahtera, sehingga bisa berkonsentrasi pada kegiatannya. Dengan petani yang sejahtera, penduduk lain yang berprofesi bukan petani akan terpacu untuk membangun sektor lainnya.

Semua sudah seharusnya harmonis, saling mendukung, saling melengkapi. Sebagai pekerja di kota misalnya, kita tidak mungkin menafikan keberadaan petani. Biarlah mereka petani gurem, toh kegureman mereka pula yang produksinya mengisi perut kita sehari-hari. Bandingkan dengan kita yang pekerja di kota misalnya, apa yang sudah kita hasilkan untuk mereka para petani? Mungkin sama sekali tidak ada.

Pemilu, adalah siklus lima tahunan yang menyerang seperti wabah hama wereng. Seperti pada waktu-waktu sebelumnya, petani akan mendapatkan banyak pujian penuh kepentingan. Disana sini dielu-elukan. Partai A akan mengumbar janjinya pada petani. “Pupuk disubsidi kalau kami terpilih, infrastruktur akan kami bangun, ah ya, itu padi-padi hibrida akan kami kembangkan lagi. Kami ingin pertanian maju. Bung Karno saja cinta Pak Marhaen. Blaa..Blaa..Blaa..”. Partai B yang notabene saingan berat partai A tentu tidak mau kalah, “Ah, itu nanti Bapak-bapak tani kami gratiskan pupuknya ya..!! Bapak bapak butuh kerbau berapa buat mbajak sawah? Ah uhmm nanti datang saja ke kantor Partai ya, coba tulis proposal itu, nanti biar anak buah saya yang cairkan dana buat kerbaunya..”. Ya janji-janji diumbar, diobral.

Seperti barang dagangan yang dijual di supermarket masa-masa hari raya. Setelah dibeli, mungkin tanggal kadaluarsanya sudah dekat. Janji politik, yang terucap dari pedang yang dihunus para politisi pun seperti itu.

Ah, ingatan sebuah saung dipinggir beberapa petak sawah memanggil pulang.

16 agustus (film iklan oleh sampoerna)

::klik gambar untuk melihat trailer film ini::

Ini adalah sebuah film yang dibuat oleh Sampoerna Foundation, dalam setiap iklannya tidak disebutkan siapa yang memproduseri, sutradaranya, pemainnya. Yang saya tangkap, film ini akan menceritakan kembali perjuangan golongan muda (Sukarni, Chairul Saleh dan Wikana) dalam mendorong kemerdekaan Indonesia, melalui peristiwa pengamanan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok.

Perlu diingat film pendek ini hanya tayang HARI INI, TANGGAL 16 AGUSTUS 2008, JAM 9 MALAM, DI RCTI, SCTV, TRANSTV, TRANS7, DAN METRO TV.

Jadi, jangan anda lewatkan! Merdeka!

——————————————–

Setelah menunggu kurang lebih 1 jam..

Film yang ditunggu tidak kunjung tayang.

Dan ternyata, kalau boleh saya menyimpulkan film ini merupakan salah satu cara yang ingin diangkat oleh Sampoerna bekerja sama dengan Lowe productions dan Babi Buta Films untuk memperingati HUT Republik Indonesia 17 agustus 1945. Film pendek berbentuk trailer ini mengangkat kisah Rengasdengklok ke hadapan para pemirsa tivi di Indonesia.

Berikut petikan wawancara dengan Niken Rachmad (NR), Director Corporate Communications PT HM Sampoerna Tbk.

Apa tujuan dari trailer 16 Agustus ini?

(NR) : Sebenarnya intinya adalah kita mau memperingati 17 agustus ya, hari kemerdekaan, tapi kan memang sudah banyak tema-tema 17 agustus.. Nah, ada suatu saat ya, dimana proses itu berjalan.. karena kalau tidak melihat prosesnya itu, kita juga tidak bisa mengambil hasil yang tepat. Jadi, sebenarnya kita juga harus mengajarkan kepada para generasi muda ini bahwa proses itu penting untuk melihat suatu hasil yang kita capai, yang kita nikmati sekarang ini. Jadi, sejarah dibelakangnya itu apa, detik-detik yang menentukan, bahwa hingga kemudian terjadi sesuatu pada tanggal 17. Itu juga saya rasa penting untuk diketahui para generasi muda.

Apa yang melatar belakangi keputusan Sampoerna?

(NR) : Ide itu ya, kebetulan ide itu muncul, terus terang ide itu juga diusulkan oleh agency ya, teman-teman dari Lowe. Belum banyak ya, tidak banyak yang menggali proses sebelumnya itu (maksudnya proses menjelang proklamasi). Nah, kurang lebih kemudian setelah menimbang sekitar beberapa bulan dari mulai awal tahun ini ya, kira-kira kita, kemudian kita bulatkan suatu konsep ya, ya ini betul, ini adalah suatu hal yang bagus, pembelajaran untuk generasi muda, sekaligus juga mengingatkan kembali kepada peran-peran pemuda pada saat itu, karena yang ditonjolkan disini adalah bukannya hanya hasilnya. tapi, proses tersebut, siapa yang melakukan proses itu, adalah para pemuda.

———————————

FIlm ini mengingatkan pada satu hal, bahwa peran pemuda pada perjuangan bangsa Indonesia dulu sangat penting, dan kini kembali diperlukan untuk membangkitkan semangat juang bangsa yang nampaknya semakin terpuruk. Bahwa, generasi yang ada saat ini, mungkin bisa dibilang generasi yang instan, dan cenderung tidak peduli pada proses yang menjadi penentu dari hasil yang ingin dicapai. Nah, walaupun saya kecewa karena ternyata film ini adalah hanya film pendek, dan lebih berbentuk iklan. Tapi saya salut, karena paling tidak, Sampoerna, Lowe, dan Babi Buta Films peduli pada bangsa ini, terutama proses yang membentuknya. Salut!

*) gambar saya scan dari harian Kompas, 16 Agustus 2008

*) petikan wawancara dikutip dari 16agustus.com

merdeka ?!

merdeka?! apa esensi dari tangan mengepal, memegang bendera merah putih dan berteriak lantang membahana. ketika, segala pikiran kita masih terbelenggu, terlebih oleh ketidaktahuan dan ketidakmengertian. ya, indonesia memang merdeka sebagai sebuah negara, 63 tahun yang lalu. namun sebagai sebuah bangsa, kita belum merdeka. mengapa? sederhana saja, ada 12 juta anak Indonesia yang putus sekolah. itu indikator yang membuktikan bahwa Indonesia belum sepenuhnya merdeka, karena yang saya tulis disini pun baru perihal merdeka dalam berpengetahuan.

dua dari beberapa komunitas blogger di Indonesia, yaitu bhi dan cahandong, berkolaborasi dalam menyelenggarakan sebuah usaha untuk memerdekakan anak2 bangsa. dengan mengumpulkan buku dari masyarakat untuk kemudian disampaikan kepada mereka yang membutuhkan. setidaknya, dengan usaha ini mereka-mereka yang putus sekolah bisa mendapatkan haknya untuk merdeka.

bagi saya, ini sebuah gerakan yang patut didukung penuh. mudah-mudahan banyak organisasi lainnya yang mengikuti gerakan ini, sehingga kemerdekaan Indonesia sebagai negara bisa dilanjutkan dengan kemerdekaan bangsanya.