Kata ‘Jong‘ adalah aksara belanda yang sepadan dengan kata ‘young‘, mungkin bila diterjemahkan menjadi ‘anak muda’. Istilah ‘jong’ di Indonesia sudah lama tidak kita dengar. Yang lebih sering kita dengar mungkin istilah ‘kawula muda’ (prambors fm), ‘anak nongkrong’ (mtv), ‘boys and girls‘ (mustang fm), dan sebutan lainnya yang biasa digunakan oleh penyiar di radio-radio bergenre anak muda. Kaum muda memiliki peranan tersendiri yang tentu saja penting untuk menggerakkan sebuah bangsa, terutama ketika generasi yang memimpin sudah terlalu larut dalam jebakan kekuasaan.
Penggunaan bahasa secara seragam merupakan elemen penting dalam penyatuan sebuah bangsa. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, kita pernah mengalami masa dimana kaum intelektual Indonesia yang kebanyakan didikan negeri belanda menggunakan bahasa penjajah karena terlanjur terbiasa. Bisa dibayangkan bagaimana kaum intelektual tersebut bisa kembali mengabdi pada ibu pertiwi, bila bahasa berkelas intelektual dipadankan dengan bahasa yang bukan mother-tongue orang Indonesia. Tentu saja kemudian ada ketimpangan yang terjadi, terutama dalam ketersampaian pesan kepada masyarakat awam yang jauh dari pendidikan.
Kaum intelektual didikan Belanda yang menggagas kebangsaan Indonesia memulai penyatuan dengan bahasa melayu awalnya. Para jong ini sempat kesulitan menggunakan bahasa melayu, karena mereka tidak terbiasa, dan bahasa asing yang mungkin terlanjur melekat. Atas desakan dari Muhammad Yamin, Kongres Pemuda Indonesia yang diadakan para Jong se-Hindia Belanda kala itu menggunakan bahasa melayu. Walaupun sebagian besar peserta yang datang masih dalam tahap kembali belajar bahasa Ibu pertiwi.
Ada kejadian lucu, seperti dikutip oleh majalah tempo edisi khusus 80 tahun Sumpah Pemuda. Kala itu Amir Sjarifuddin (ketua sidang), bertanya pada para peserta tentang kesiapan mereka menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar selama kongres berlangsung. Para peserta kongres pemuda yang memang masih dalam tahap belajar bahasa pun menjawab secara serentak dan lantang, “Siiikaaaap!”.
Dulu dan kini, waktu merentang diri dari 1928 sampai 2008, 80 tahun sudah Sumpah Pemuda dilewati bangsa ini. Perkembangan bahasa dan kaum muda Indonesia telah melintasi berbagai masa dan memiliki ciri khas masing-masing. Ciri khas tersebut pun bergantung pada latar belakang tertentu, tergantung pada lingkungan (komunitas) apa mereka berkembang. Seperti dalam dunia penyiaran misalnya, ada pakem tertentu yang digunakan oleh radio siaran tertentu. Begitu pun dengan komunitas berbasis budaya, agama, bahkan sekedar kesamaan ide tau hobby.
Masing-masing komunitas berkembang dan terkadang menciptakan benteng atau gap yang sangat mungkin menciptakan kesalahpahaman bila dipandang dengan sempit. Namun sebaliknya, hal ini justru sebenarnya bisa memperkaya budaya Indonesia, karena proses perkembangan sebuah bangsa tidak akan pernah berhenti. Dan tentu saja, tak bisa dipungkiri perubahan akan hal-hal tertentu terjadi.
Seorang kolumnis, Rikard Bagun, menulis dalam Harian Kompas hari ini bahwa dibutuhkan banyak sumpah pemuda untuk bisa membangkitkan bangsa ini kembali. Rikard juga menekankan bahwa sebuah bangsa tidak boleh kehilangan nilai-nilai dasar kebangsaannya. Permasalahannya kemudian adalah apa kontribusi para Jong baru Indonesia ini sekarang? Apakah mereka sudah tenggelam dalam arus? Dan sedang mengalami kesulitan menantang arus besar konsumsi dan hedonisme yang riuh ramai? Yang perlu diingat saat ini sistem ditentukan dengan model survival of the fastest, bukan lagi survival of the fittest.
Islam saja bisa terpecah-pecah, bagaimana dengan Indonesia? Bung Karno pernah menulis saat pengasingan di Ende, Flores, 18 Agustus 1936 ketika mengomentari persoalan ummat yang memandang sempit keberagaman. Dalam suratnya kepada Ustad A. Hassan (pemimpin Persatuan Islam di Bandung), Ia berkata,
“…Tetapi apa jang kita ‘tjutat’ dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinja, bukan njalanja, bukan flamenja, tetapi abunja, debunja, asbesnja. Abunja jang berupa tjelak mata dan sorban, abunja yang yang mentjintai kemenjan dan tunggangan onta, abunja jang bersifat Islam mulut dan Islam-ibadat — zonder taqwa, abunja jang cuma tahu batja Fatihah dan tahlil sahaja — tetapi bukan apinja jang menjala-njala dari udjung zaman jang satu ke udjung zaman jang lain …”.
Indonesia, dan para ‘Jong-baru’nya dari berbagai kalangan, entah komunitas, agama, budaya, sosial dan politik, perlu mengingat satu hal bahwa perjalanan dan perkembangan sebuah bangsa adalah sesuatu yang pasti. Persoalan keberagaman sudah seharusnya dipandang sebagai kekayaan bangsa ini, yang perlu dilakukan adalah menelaah ke belakang dan berkaca pada sejarah Sumpah Pemuda sebagai awal kelahiran Indonesia. Dan ingat kata Bung Karno, ambil api(jiwa/semangat)nya(persatuan dalam sumpah pemuda) yang menyala-nyala dari ujung zaman(awal lahirnya sebuah bangsa) yang satu ke ujung zaman yang lain(hingga kematangan bangsa tersebut dalam melewati masa).
Bagaimana kawula muda, anak nongkrong, boys and girls, siap bersumpah untuk mengabdi pada bangsa dan negara ini? Bangsa ini perlu darah segar untuk bangkit.
sumber : Kompas 27 Oktober 2008, dan Tempo Edisi 80 Tahun Sumpah Pemuda
gambar : Kompas, 27 Oktober (Arsip Museum Sumpah Pemuda, Jakarta)